Bela Negara Tidak Harus Ikut Perang

  • Selasa 28 Januari 2020 , 12:00
  • Oleh : Ritta Humas
  • 3979
  • 5 Menit membaca
UPN VETERAN Yogyakarta

SLEMAN – Bela Negara tidak harus turut serta mengangkat senjata atau berperang. Perang adalah kemenangan dalam pertempuran fisik dan diplomasi. Kemenangan dalam diplomasi menjadi penting karena menentukan kemenangan dalam perang, namun pertempuran fisik tetap tidak bisa ditinggalkan.

Demikian disampaikan Dahnil Anzar Simanjuntak, Satf Khusus Bidang Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga Kementerian Pertahanan pada Kuliah Umum dalam rangka Kuliah Perdana Program Magister dan Doktor, di UPN “Veteran” Yogyakarta (UPNVY), Selasa (27/01).

 “Hal lain adalah Ancaman Hibrida yakni ancaman militer dan ancaman non militer yang sekaligus datang. Misal perang biologis, dan perang ekonomi, politik, budaya, media, proxy war, dan siber. Layaknya revolusi industri, peperangan pun sudah memasuki generasi keempat. “ kata mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah periode 2014 – 2018 tersebut.

Dahnil menyampaikan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan, dan Timor Timur adalah contoh nyata peperangan non militer yang kita hadapi. Dalam. Konteks tertentu, impor pun bisa dianggap sebagai ancaman non militer.

"Bela Negara adalah tekad, sikap, dan perilaku, serta tindakan warga negara dalam menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan negara dari berbagai ancaman, demi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Aktualisasi Nilai-nilai Bela Negara meliputi cinta tanah air, sadar berbangsa dan bernegara, setia pada Pancasila, dan rela berkorban. Kemampuan awal Bela Negara menuntut kesiapan psikis dan fisik," terang Dahnil.

Bela Negara, kata Dahnil, harus disesuaikan dengan Tiga isu utama dunia saat ini. Isu Climate Change atau ancaman bencana menjadi penting. Keterlibatan generasi milenial sebagai Aktivis lingkungan yang selalu menyuarakan tentang konservasi alam adalah termasuk Bela Negara.

“Bela Negara tidak melulu tentang militer, tapi semangatnya yakni kedisiplinan dan kekompakan yang harus ditiru. “ Ujarnya didepan peserta kuliah umum.

Isu kedua, lanjut Dahnil, adalah Artificial Intelligent. Situasi ini rentan konflik. Bisa dibayangkan jika semua pabrik sudah mengaplikasikan Artificial Intelligent. Dari satu sisi adalah ancaman serius, namun juga potensi yang bagus. Untuk menangkal ancaman Artificial Intelligent ini, generasi milenial tidak bisa tidak harus meningkatkan kemampuan literasi konvensional dan mengasah soft skill seperti kemampuan komunikasi, leadership, dan team work. Jangan terlena oleh literasi lewat telepon pintar dan media sosial. Saat ini diskusi publik dinilai miskin kualitas, ruang dialektika dirusak monolog "sok tahu" dan asal "ngotot". Jika tidak segera diantisipasi, generasi milenial bisa mengalami keterputusan sejarah dan sulit menerapkan spirit Bela Negara. Untuk membangun tradisi Bela Negara yang maju di kalangan milenial, harus berangkat dari tradisi literasi yang kuat.

"Isu ketiga adalah Digital Dictatorship. Negara yang menguasai sumber data adalah pemenang. Generasi muda harus menguasai data agar bisa bersaing di era digital ini," jelas Dahnil.

Dahnil menegaskan, diplomasi. pertahanan kita harus kuat. Doktrin pertahanan Indonesia adalah Sishanta yang menuntut keterlibatan semua anak bangsa Indonesia. Doktrin ini bersifat Defensif Aktif, atau bebas aktif. Tidak memiliki doktrin Ofensif. Karena tidak memiliki pakta pertahanan maka rentan jika diserang oleh negara lain, tapi memiliki potensi sebagai negara juru damai atau penengah.

Dahnil menuturkan, Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara adalah Komponen Utama, Komponen Cadangan, Komponen Pendukung, dan Bela Negara. Komponen Cadangan (Komcad) menjadi penting asal Konstitusional sifatnya. Indonesia terlambat dalam menyiapkan komcad dibandingkan negara lain. Berbeda dengan wajib militer, komcad tidak wajib. Keikutsertaannya bersifat sukarela dan harus melalui seleksi yang ketat.

"Selain mendapat pelatihan militer, peserta komcad dibekali materi nasionalisme dan patriotisme. Pembentukan komcad adalah langkah maju dalam implementasi Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishanta), seiring upaya pemerintah memodernisasi alutsista TNI," Jelas Dahnil.

Di kesempatan yang sama Rektor UPNVY, Mohamad Irhas Effendi memaparkan  jika Bela Negara membutuhkan warna baru dalam memberikan penyadaran dan pemahaman kepada generasi sekarang di era milenial.

Rektor menjelaskan jika pihaknya sudah memiliki road map tentang Bela Negara. Khusus untuk program magister dan doktor, lebih ditekankan kepada aspek pemikiran.

“Harapannya bisa melahirkan pembaharuan pemikiran-pemikiran sehingga bisa membangun peradaban dan keadaban baru dengan berlandaskan semangat Bela Negara dan Cinta Tanah Air.” Ujarnya saat memberikan sambutan.

Menurut Irhas, di era milenial, digital, disrupsi, dan revolusi industri ini dibutuhkan pemikiran yang terbuka. Di era keterbukaan informasi ini, peran jati diri amatlah penting sebagai filter. Salah satunya nilai-nilai Bela Negara harus kuat, jika tidak tentu sangat berbahaya bagi keberlangsungan bangsa Indonesia.

Irhas menegaskan, calon-calon pembaharu, pemikir, dan intelektual di era digital dan revolusi industri 4.0 yang dilahirkan oleh UPNVY, harus memiliki semangat kebangsaan yang kuat, memiliki jiwa Bela Negara, dan mencintai tanah airnya. Sebab secara historis, Kampus UPNVY didirikan oleh pejuang yang berada di bawah Departemen Veteran saat itu. Para pejuang ingin tetap berjuang di era kemerdekaan, salah satunya melalui jalur pendidikan.

"Implementasi Bela Negara tertuang dalam UUD 1945, UU, dan Keputusan Presiden. Kurikulum UPNVY wajib ada materi Bela Negara. Bahkan nuansa dan semangat Bela Negara harus ada dalam setiap mata kuliah sehingga Fakultas Teknologi Mineral misalnya, bisa melahirkan Teknokrat dan Ahli Pertambangan yang memiliki semangat Bela Negara dan Cinta Tanah Air," ungkap Irhas. (wwj/humas)