Berita Hoaks Dapat Timbulkan Ketidakstabilan Politik

  • Senin 27 November 2017 , 12:00
  • Oleh : Dewi
  • 1610
  • 4 Menit membaca
UPN VETERAN Yogyakarta

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kapusdatin Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Marsma Yusuf Jauhari menyatakan, perkembangan dunia siber telah menciptakan suatu dimensi baru tidak hanya dalam hal mempermudah komunikasi lintas batas negara, melainkan juga menciptakan suatu medan pertempuran yang baru pula.

Dalam siaran persnya, Ahad (26/11), Yusuf mengatakan, ancaman terhadap suatu negara, tak lagi hanya berupa ancaman serangan fisik, melainkan juga melalui ancaman siber yang dapat menyerang infrastruktur strategis dan objek vital nasional. 

"Pengalaman di masa lalu seperti serangan siber di Estonia pada tahun 2007, serangan malware stuxnet yang mentargetkan sistem SCADA, hingga kejadian maraknya ransomware Wannacry yang menyerang beberapa fasilitas kesehatan di dalam negeri menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kita untuk mempersiapkan diri terhadap ancaman peperangan gaya baru," kata Yusuf dalam seminar bertema 'E- Defense: Menjaga Keamanan Data Dalam Menghadapi Cyber Warfare untuk Memperkokoh Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia' di UPN Veteran Yogyakarta, Sabtu (26/11).

Secara teknikal, lanjut Yusuf, ancaman siber juga dapat berupa serangan informasi menggunakan kanal-kanal media daring maupun media sosial yang ada. Sebagai contoh,  sebuah berita hoaks dapat digunakan untuk menggiring opini masyarakat yang dapat menimbulkan ketidakstabilan politik.

"Lalu juga menyebabkan kerugian secara ekonomis, atau bahkan menimbulkan kegaduhan bila bertentangan dengan kondisi sosial budaya. Dalam kasus lain, suatu kebocoran data baik secara sengaja maupun melalui social engineering dapat digunakan untuk menyerang suatu negara dari segi pertahanan dan keamanan," beber alumnus AAU 1990 itu.

Meski demikian, Yusuf melanjutkan, Indonesia patut berbangga lantaran secara formal telah memiliki Satuan Siber TNI serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang bertanggung jawab terhadap keamanan siber dalam lingkup nasional. Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah memberikan suatu perhatian khusus terhadap kesiapsiagaan di bidang siber. "Keamanan siber adalah suatu hal yang kompleks dan membutuhkan keterlibatan multistakeholdersmulai dari pemerintah, industri, praktisi, akademisi, hingga masyarakat," kata dia.

Oleh sebab itu, menurut Yusuf, menjaga keamanan dalam cyber warfare merupakan suatu hal yang positif, terutama dengan adanya kesadaran mengenai perlunya peran generasi muda untuk berkontribusi secara positif dalam hal keamanan siber.

 REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kapusdatin Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Marsma Yusuf Jauhari menyatakan, perkembangan dunia siber telah menciptakan suatu dimensi baru tidak hanya dalam hal mempermudah komunikasi lintas batas negara, melainkan juga menciptakan suatu medan pertempuran yang baru pula.

Dalam siaran persnya, Ahad (26/11), Yusuf mengatakan, ancaman terhadap suatu negara, tak lagi hanya berupa ancaman serangan fisik, melainkan juga melalui ancaman siber yang dapat menyerang infrastruktur strategis dan objek vital nasional. 

"Pengalaman di masa lalu seperti serangan siber di Estonia pada tahun 2007, serangan malware stuxnet yang mentargetkan sistem SCADA, hingga kejadian maraknya ransomware Wannacry yang menyerang beberapa fasilitas kesehatan di dalam negeri menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kita untuk mempersiapkan diri terhadap ancaman peperangan gaya baru," kata Yusuf dalam seminar bertema 'E- Defense: Menjaga Keamanan Data Dalam Menghadapi Cyber Warfare untuk Memperkokoh Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia' di UPN Veteran Yogyakarta, Sabtu (26/11).

Secara teknikal, lanjut Yusuf, ancaman siber juga dapat berupa serangan informasi menggunakan kanal-kanal media daring maupun media sosial yang ada. Sebagai contoh,  sebuah berita hoaks dapat digunakan untuk menggiring opini masyarakat yang dapat menimbulkan ketidakstabilan politik.

"Lalu juga menyebabkan kerugian secara ekonomis, atau bahkan menimbulkan kegaduhan bila bertentangan dengan kondisi sosial budaya. Dalam kasus lain, suatu kebocoran data baik secara sengaja maupun melalui social engineering dapat digunakan untuk menyerang suatu negara dari segi pertahanan dan keamanan," beber alumnus AAU 1990 itu.

Meski demikian, Yusuf melanjutkan, Indonesia patut berbangga lantaran secara formal telah memiliki Satuan Siber TNI serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang bertanggung jawab terhadap keamanan siber dalam lingkup nasional. Hal itu menunjukkan bahwa pemerintah memberikan suatu perhatian khusus terhadap kesiapsiagaan di bidang siber. "Keamanan siber adalah suatu hal yang kompleks dan membutuhkan keterlibatan multistakeholdersmulai dari pemerintah, industri, praktisi, akademisi, hingga masyarakat," kata dia.

Oleh sebab itu, menurut Yusuf, menjaga keamanan dalam cyber warfare merupakan suatu hal yang positif, terutama dengan adanya kesadaran mengenai perlunya peran generasi muda untuk berkontribusi secara positif dalam hal keamanan siber.