Qoidul Masa’id, Penjaga Masjid Jadi Wisudawan Terbaik UPNVY (Bagian 1)
SLEMAN – Qoidul Masa’id, wisudawan UPN “Veteran” Yogyakarta (UPNVY) berhasil menjadi wisudawan terbaik dengan nilai 1377 point dan mengantarkannya menjadi salah satu dari 10 peraih penghargaan Karya Cendekia. Penghargaan ini diberikan Rektor UPNVY kepada wisudawan yang memiliki prestasi di bidang akademis dan non akademis, serta aktif di organisasi.
Qoidul Masa’id lulus dilantik menjadi sarjana dari jurusan Teknik Pertambangan dengan IPK 3,63. Alumni Madrasah Aliyah Riyadlotut Thalabah Sidorejo, Rembang ini memiliki segudang prestasi. Ia tercatat pernah meraih Juara 1 Alamanda Islamic Competition, Juara I dan Juara 2 Youth Mining Camp Competition 2016, Juara 3 Mining Competition Mine Evacuation Rescue, Juara 3 of Face Tie in Sriwijaya Mining Games 2019, Juara 3 mata lomba Underground Mine Survey, Juara 3 mata lomba Micromine Competition dan segudang prestasi lainnya di bidang pertambangan. Ia juga pernah menjadi asisten praktikum serta aktif di organisasi kemahasiswaan.
Selain berkuliah, Masa’id sapaan akrabnya juga seorang marbut atau penjaga masjid. Ia menghabisakan waktu mengurus jamaah Masjid Nurul Hidayah di Dusun Puluhdadi, Condongcatur, Sleman.
Ia mengisahkan awal mula dirinya menjadi marbut saat diterima menjadi mahasiswa baru di UPNVY. Setelah lulus dari madrasah ia memberanikan diri untuk melanjutkan kuliah.
“Orang tua memberikan pilihan untuk melanjutkan di pondok pesantren, kerja atau menikah. Tapi keinginan saya adalah kuliah.”katanya.
Masa’id mengatakan sangat sedikit pemuda kampungnya di Rembang yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Biasanya setelah lulus sekolah bekerja menjadi kasir mini market atau satpam, sedangkan yang perempuan memilih untuk menikah.
“Saya lulus umur 17 tahun, kalau kerja dengan bekal seperti ini mau apa. Kalau menikah kan saya masih muda sekali.” Ujar laki-laki kelahiran Rembang, 02 Juli 1998 tersebut.
Orang tuanya sempat khawatir ketika mengetahu keinginan Masa’id untuk berkuliah. Pasalnya pekerjaan sang ayah sebagai petani tidak cukup membiayai pendidikannya.
Semangat dan keinginan yang kuat Masa’id untuk melanjutkan kuliah meluluhkan hati orang tuanya.
“Waktu itu saya berjanji tidak akan membebani biaya ke orang tua. Alhamdulillah ada program bidikmisi sehingga saya bisa menepati janji.” Ujar anak pertama dari orang tua Ali Mustahar tersebut.
Atas bantuan pihak sekolah ia mendaftar jalur SNMPTN melalui program bidikmisi, namun gagal. Kemudian ia mencoba mendaftar melalui jalur SBMPTN.
“Saya ragu bisa lolos jalur SBMPTN karena tesnya susah, soalnya sulit-sulit. Kalau ikut SBMPTN saya harus ikut bimbel dan biayanya mahal.” Katanya.
Beruntung ia mendapat kesempatan untuk mengikuti bimbingan belajar tanpa dikenai biaya dari salah satu anak organisasi Nahdatul Ulama.
Selain mengikuti ujian SBMPTN ia juga mengikuti ujian masuk di salah satu PTN di Yogyakarta. Saat itu ia mengaku tidak memiliki uang untuk membeli formulir pendaftaran.
“Ongkos ke Jogja dan uang pendaftaran sebesar Rp 300 ribu saya pinjam teman. Baju yang saya pakai waktu ujian juga dipinjami oleh warga dekat masjid. Selama di Jogja saya tinggal di masjid di daerah Kentungan, kebetulan teman saya jadi marbut disana.” Kisahnya.
Pun saat diterima di UPNVY dan menjadi mahasiswa baru, ia masih tinggal di masjid. Selama sebulan tinggal di masjid, ia menggunakan sepeda ke kampus. Sepeda ini merupakan pinjaman dari salah satu warga.
Beruntung saat itu melalui temannya ia dikenalkan kepada seorang ustadz dan ditawari untuk tinggal di masjid dekat dengan kampusnya.
“Alhamdulillah saya mendapat tempat tinggal dan lokasi masjid juga tidak jauh dari kampus. Jarak dari masjid ke kampus sekitar 500 meter. Kalau untuk sewa kost saya tidak mampu.” Katanya. (wwj/humas)