Tantangan Baru ASEAN

  • Jumat 17 November 2017 , 12:00
  • Oleh : Dewi
  • 1827
  • 4 Menit membaca
UPN VETERAN Yogyakarta

KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) ke-31 ASEAN di Filipina yang baru saja berakhir telah mengangkat beberapa isu menarik. Baik bagi kepentingan ASEAN maupun Indonesia. Pertama, isu Rohingya menjadi agenda pertemuan itu. Menarik melihat bagaimana ASEAN sebagai satu-satunya organisasi regional di Asia Tenggara menyikapi isu krusial ini.

Walaupun KTT tersebut tidak memberikan hasil memuaskan pada perhatian ASEAN terhadap isu kemanusiaan bagi etnis Rohingya, namun setidaknya perilaku negara-negara anggota ASEAN sudah terbaca sejak sebelum KTT di Philippine International Convention Center (PICC), Manila. Di satu sisi, anggota ASEAN secara individual tampaknya enggan mengangkat isu Rohingya ke tingkat regional. Salah satu alasannya adalah kekhawatiran bahwa simpati kepada etnis Rohingya akan menimbulkan risiko pada prinsip non-interference ASEAN.

Di sisi lain, negara-negara ASEAN cenderung lebih menerima pada upaya kemanusiaan Indonesia untuk menggalang dukungan pada etnis Rohingya. Bagi Myanmar, kecenderungan perilaku negara-negara ASEAN itu lebih bisa diterima mengingat kompleksitas isu itu di tingkat domestik negara itu, termasuk kontroversi posisi Aung San Suu Kyi sebagai penerima hadiah Nobel.

Kedua, KTT ASEAN berhasil menandatangani konsensus bersama mengenai perlindungan dan promosi hak-hak buruh migran. Konsensus tersebut merupakan amanat dari Deklarasi Cebu tentang perlindungan hak pekerja migran yang dilaksanakan di Cebu Filipina pada 2007. Deklarasi Cebu ini menjadi embrio bagi pembentukan ASEAN Committee on Migrant Workers (ACMW) pada 2008 dan mendorong adanya ASEAN Forum Migrant Labour (AFML). Harapannya adalah bahwa konsensus itu dapat mengikat negara-negara ASEAN dalam menyikapi pekerja migran di kawasan Asia Tenggara. Agenda KTTASEAN juga melingkupi isu-isu lain, seperti sengketa klaim di Laut Tiongkok Selatan, penanggulangan terorisme, dan Palestina.

Berbagai agenda itu menunjukkan besarnya tantangan yang dihadapi ASEAN untuk mengatur berbagai isu di wilayahnya. Dua prinsip dasar yang dipegang negara-negara anggota ASEAN hingga kini adalah non-interference dan sentralitas ASEAN. Perkembangan selama ini menunjukkan bahwa prinsip dasar ASEAN tetap dipertahankan. Namun tantangannya bersifat sangat dinamis dan memerlukan sikap responsif dari negara anggotanya. Selama 2 hari KTT itu, ASEAN tidak hanya menyelenggarakan berbagai pertemuan regional mengenai berbagai agenda itu.

Para kepala negara dan pemerintahan ASEAN juga harus mengikuti pertemuan-pertemuan lain bersama mitra dialog lainnya. Presiden Jokowi, misalnya, menghadiri sekitar 21 pertemuan penting selama KTT 3 hari itu, seperti : ASEAN Leader’s Interface dengan ASEAN Business Advisory Council (ABAC), KTT ASEAN-AS, KTT ASEAN-Tiongkok, KTT ASEAN-Korea, KTT ASEAN-Jepang, dan Pertemuan APT Leaders lnterface dengan East Asia Business Council. Kedua isu itu merupakan tantangan baru bagi ASEAN. Isu Rohingya dan hak-hak pekerja migran sebenarnya menyentuh persoalan mendasar dalam dinamika perkembangan regionalisasi ASEAN hingga saat ini.

Paling tidak sejak 4 tahun yang lalu, ASEAN mulai mendorong partisipasi masyarakat dalam rangka mewujudkan komunitas ASEAN. Perluasan stakeholders ASEAN dari aktor-aktor negara saja hingga melibatkan aktor-aktor negara memerlukan kerja keras dan komitmen serius dari pemerintah masing-masing negara anggota.

Kecenderungan ini juga mengubah paradigma berpikir dan kerangka kerja di ASEAN dari people-oriented menjadi people centered. Bagi Indonesia, dukungan terhadap etnis Rohingya dapat dilakukan dengan menggalang kekuatan negara-negara ASEAN atau multilateral lainnya untuk bisa memberikan pressure (tekanan) individual dan regional terhadap Myanmar. Bahkan, jika diperlukan, Indonesia bisa menyuarakan kepada Sekjen PBB untuk menerjunkan pasukan perdamaian di Myanmar.

Walaupun upaya-upaya ini tetap perlu memperhitungkan kompleksitas faktor domestik dan dinamika pengaruh negara-negara besar (seperti AS danTiongkok) di Myanmar. Selain itu, penandatanganan konsensus itu merupakan bentuk nyata dari keberhasilan inisiatif Indonesia yang telah mengangkat isu itu di KTT ke-31 ini.

Konsensus itu dapat menjadi materi awal bagi upaya membangun aturan main bersama di tingkat regional. Upaya Indonesia ini tidak lepas dari komitmen Indonesia untuk selalu memasukkan isu-isu sosial kemasyarakatan di kawasan Asia Tenggara.

Dalam konteks yang lebih mendasar, inisiatif Indonesia ini merupakan bagian dari upaya serius untuk memasyarakatkan ASEAN. (Ludiro Masu MSi. Dosen di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, UPN ‘Veteran’Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 18 November 2017)